Rabu, 08 April 2015

Luka Adat

Betapa lucunya kau di kala tersenyum.
Nampak merona merah bibirmu usai kucium
ditengah padang pasir yang luas berdua.
Memadu kasih layaknya cinderella.

Matamu berbinar bagai awan
yang akan meneteskan hujan.
Lewat mentari, kukatakan padamu bahwa aku ingin pergi dan takkan pulang.
Dirimu lalu membisu seribu kata bersama ilalang.

Anginpun datang membawa butiran pasir.
Seiring matamu berkaca bagai air mengalir
disungai yang berbatu cadas hitam.
Dengan raut mukamu yang kusam.

Aku memelukmu membisikkan kata maaf lewat kalbu
yang tak terucap lewat bibirku, biarkan aku menggerutu
merasakan detak jantungmu berteriak-teriak,
seakan itu mengutuk-ngutuk.

Di padang pasir itu, terakhir kali aku melumat bibirmu
sebelum aku pergi bersama calon bungaku
yang telah diikat oleh orangtuaku, jujur aku tak cinta.
Ini ulah orang tuamu juga.

Aku menyunting bunga yang hampir saja kupetik.
Namun duri-duri hitam berbisa siap mematuk-matuk.
Lalu aku pulang demi sebuah ikatan adat.
Duri-durimu berkata aku tak beradat.

Kini engkau sendiri meratapi diri.
Menghabiskan air mata duri.
Izinkan aku memetik bunga yang lain
Lalu menghirup aromanya di malam pengantin.

Sapai jumpa di padang luas ini.
Jangan harapkan aku kembali.
Biarlah pasir, angin, awan dan mentari menjadi saksi.
Perpisahan ini.

Kamboja Dalam Belanga

Bunga kamboja di pagi hari.
Dihinggap oleh dua belanga mucikari
Yang berubut madu pahit meracuni.
Demi rasa mereka yang tak pernah hilang pada sensasi.

Seperti biasa, sang kamboja diam saja menanti.
Sudah tentu tak ada angin yang pasti.
Seekor belanga lain juga menanti yang tak pasti.
Demi asa yang di jaga sampai mati.

Akulah belanga itu.
Aku menunggu sang kamboja untuk membuka pintu.
Namun belanga lain tak sudi dan menggerutu.
Aku pasra dan membisu.

Harapan sang belanga tiada sirna.
Lalu kembali bertapa demi rasanya.
Demi harapan yang hampa.
Demi rasa yang lama di dada.

Duhai kamboja,
Akulah sang belanga
Cintaimu dalam luka.