Sabtu, 01 Juni 2013

AWAS MAHASISWA BERTOPENG ??????

“ Seekor jangkrik dengan topengnya akan menerkam mangsanya, tapi tak sadar jika seekor burung bangau dengan topengnya pula ingin menerkamnnya. Burung bangau pun tak sadar jika bidikan senapan angin tertuju kepadanya. Parahnya, sosok penembak tak tahu kalau seekor ular berbisa siap mematuknya ”


Ungkapan diatas menggambarkan tentang sosok yang mencoba mengintai sesuatu dengan wajah tiruan atau sering disebut topeng. Topeng dipakai untuk mengelabuhi dan mengintai sesuatu namun ternyata tak sadar jika sebenarnya dirinya jauh lebih berbahaya dari pada sosok yang diintai itu. Ungkapan ini juga seakan menyampaikan sebuah makna bahwa setiap orang punya banyak topeng dalam menjalani sebuah bahtera kehidupan, baik itu kehidupan keluarga, organisasi, partai, pemerintahan bahkan di dunia kampus pun tak luput dari phenomena topeng ini. Singkat kata, topeng kebaikan yang di simbolkan sebagai sosok Ramah dan topeng keburukan yang di simbolkan sebagai sosok Rahwana yang senantiasa menghiasi dan mewarnai sebuah kisah dan jejak kehidupan.
            Jika kita kembali ke sejarah topeng di Indonesia, tercatat bahwa topeng pertama kali masuk di Indonesia yaitu sekitar abad ke- 17. Penggunaan topeng merupakan sebuah kegiatan ritual sakral karena identik dengan roh-roh leluhur yang dianggap sebagai interpretasi dewa-dewa. Begitu pula topeng sangat identik dengan sastra karena topeng merupakan bentuk ekspresi paling tua yang pernah diciptakan dalam peradaban manusia, jika itu dikaji dari segi kesusastraannya. Topeng memegang peranan penting dalam berbagai sisi kehidupan yang menyimpan nilai-nilai magis dan suci, jika dikaji dari nila psikologisnya. Namun jika dikaji dari segi baik dan buruknya terkadang topeng dijadikan sebagai alat untuk memperalat sesuatu sehingga nilai-nilai estetis dan pancaran kekuatan magis lenyap tak berarti, dan yang mengherankan ini banyak terjadi di dunia kampus.
            Kampus yang notabene menjadi tempat untuk mengkaji dan menggali ilmu pengetahuan justru berubah menjadi sebuah panggung sandiwara dinasti. Setiap  dinasti melakonkan peran dan posisi masing-masing. Lucunya, setiap dinasti menggunakan topeng dalam melakonkan perannya. Dinasti yang kuat dialah yang menang. Sehingga perang topeng pun terjadi, sosok Ramah kadang mendapat ancaman dari sosok Rahwana, begitupun sebaliknya sosok Rahwana juga mendapat ancaman dari sosok Ramah. Semua orang berharap dalam panggung sandiwara ini muncul sosok Rahwana yang membantu sosok Ramah atau sebaliknya, tapi itu kapan? Panggung sandiwara ini tak pernah dihiasi dengan perang intelektual, seandainya panggung ini diisi dengan lakonan intelektual seperti diskusi, sharing dan berbagi ilmu pengatahuan, maka yakin sandiwara ini akan berahir dengan kecerdasan. Tak akan ada dinasti, tak akan ada topeng, sehingga sosok rahwana tak akan pernah hadir dalam panggung sandiwara dinasti ini. Sehingga tercipta kebersamaan, persaudaraan, dan kearifan.
            Namun kembali lagi bahwa dengan topengnya setiap dinasti pastilah mempertahankan dinastinya. Tak akan ada yang mau mengalah, setiap dinasti pastilah ingin menang, karena dalam sandiwara ini hanya ada satu sosok Sinta yang disimbolkan sebagai kekuasaan. Disinilah dibutuhkan peran seoarang aktor dalam mengatur sandiwara ini, namun aktor yang sama sekali tidak memihak kepada satu dinasti saja. Aktor yang mampu membuka semua topeng dalam sandiwara dan menjadikannya sebuah jalinan persaudaraan dan kebersamaan serta kearifan. Sehingga sandiwara ini berakhir dengan kebaikan, persaudaraan dan kebersamaan serta kearifan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar