“
Seekor jangkrik dengan topengnya akan menerkam mangsanya, tapi tak sadar jika
seekor burung bangau dengan topengnya pula ingin menerkamnnya. Burung bangau pun
tak sadar jika bidikan senapan angin tertuju kepadanya. Parahnya, sosok
penembak tak tahu kalau seekor ular berbisa siap mematuknya ”
Ungkapan
diatas menggambarkan tentang sosok yang mencoba mengintai sesuatu dengan wajah
tiruan atau sering disebut topeng. Topeng dipakai untuk mengelabuhi dan
mengintai sesuatu namun ternyata tak sadar jika sebenarnya dirinya jauh lebih
berbahaya dari pada sosok yang diintai itu. Ungkapan ini juga seakan
menyampaikan sebuah makna bahwa setiap orang punya banyak topeng dalam
menjalani sebuah bahtera kehidupan, baik itu kehidupan keluarga, organisasi,
partai, pemerintahan bahkan di dunia kampus pun tak luput dari phenomena topeng
ini. Singkat kata, topeng kebaikan yang di simbolkan sebagai sosok Ramah dan topeng
keburukan yang di simbolkan sebagai sosok Rahwana yang senantiasa menghiasi dan
mewarnai sebuah kisah dan jejak kehidupan.
Jika kita kembali ke sejarah topeng di Indonesia,
tercatat bahwa topeng pertama kali masuk di Indonesia yaitu sekitar abad ke- 17.
Penggunaan topeng merupakan sebuah kegiatan ritual sakral karena identik dengan
roh-roh leluhur yang dianggap sebagai interpretasi dewa-dewa. Begitu pula
topeng sangat identik dengan sastra karena topeng merupakan bentuk ekspresi
paling tua yang pernah diciptakan dalam peradaban manusia, jika itu dikaji dari
segi kesusastraannya. Topeng memegang peranan penting dalam berbagai sisi
kehidupan yang menyimpan nilai-nilai magis dan suci, jika dikaji dari nila
psikologisnya. Namun jika dikaji dari segi baik dan buruknya terkadang topeng
dijadikan sebagai alat untuk memperalat sesuatu sehingga nilai-nilai estetis
dan pancaran kekuatan magis lenyap tak berarti, dan yang mengherankan ini
banyak terjadi di dunia kampus.
Kampus yang notabene menjadi tempat
untuk mengkaji dan menggali ilmu pengetahuan justru berubah menjadi sebuah
panggung sandiwara dinasti. Setiap
dinasti melakonkan peran dan posisi masing-masing. Lucunya, setiap
dinasti menggunakan topeng dalam melakonkan perannya. Dinasti yang kuat dialah
yang menang. Sehingga perang topeng pun terjadi, sosok Ramah kadang mendapat
ancaman dari sosok Rahwana, begitupun sebaliknya sosok Rahwana juga mendapat
ancaman dari sosok Ramah. Semua orang berharap dalam panggung sandiwara ini
muncul sosok Rahwana yang membantu sosok Ramah atau sebaliknya, tapi itu kapan?
Panggung sandiwara ini tak pernah dihiasi dengan perang intelektual, seandainya
panggung ini diisi dengan lakonan intelektual seperti diskusi, sharing dan
berbagi ilmu pengatahuan, maka yakin sandiwara ini akan berahir dengan
kecerdasan. Tak akan ada dinasti, tak akan ada topeng, sehingga sosok rahwana
tak akan pernah hadir dalam panggung sandiwara dinasti ini. Sehingga tercipta
kebersamaan, persaudaraan, dan kearifan.
Namun kembali lagi bahwa dengan
topengnya setiap dinasti pastilah mempertahankan dinastinya. Tak akan ada yang
mau mengalah, setiap dinasti pastilah ingin menang, karena dalam sandiwara ini
hanya ada satu sosok Sinta yang disimbolkan sebagai kekuasaan. Disinilah
dibutuhkan peran seoarang aktor dalam mengatur sandiwara ini, namun aktor yang
sama sekali tidak memihak kepada satu dinasti saja. Aktor yang mampu membuka
semua topeng dalam sandiwara dan menjadikannya sebuah jalinan persaudaraan dan
kebersamaan serta kearifan. Sehingga sandiwara ini berakhir dengan
kebaikan, persaudaraan dan kebersamaan serta kearifan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar